Yogyakarta, CNN Indonesia --
Anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri (KPRP), Mahfud MD menyatakan pembubaran diskusi dan bedah buku Reset Indonesia di Gunungsari, Kabupaten Madiun, Jawa Timur pada Sabtu malam (20/12) lalu adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan.
"Itu dari sudut aturan melanggar. Aparat keamanannya melanggar, polisinya melanggar, enggak boleh begitu," kata Mahfud usai melakukan dengar pendapat publik bersama seniman dan budayawan, Bantul, DIY, Senin (22/12) malam.
Buku Reset Indonesia merupakan karya kolektif Tim Indonesia Baru yang ditulis oleh empat jurnalis yakni Farid Gaban, Dandhy Laksono, Yusuf Priambodo, dan Benaya Harobu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kata Mahfud, pembubaran di Madiun menjadi yang pertama dari rangkaian diskusi yang digelar di kota-kota lain. Menurutnya, kejadian ini harus diusut secara terbuka.
"Harus diselesaikan nanti secara terbuka itu, apa masalahnya siapa yang menyuruh. Katanya ada operasi dari institusi lain, gitu yang kemudian meminta polisi mempersoalkan itu," kata eks Menko Polhukam itu.
"Tapi, nanti lah, kita enggak tahu karena buku itu diluncurkan beberapa kali dan tidak ada masalah di berbagai tempat dan buku itu bagus-bagus saja, tidak ada provokasinya," pungkasnya.
Terpisah, Kepala Pusat Studi Agama dan Demokrasi Universitas Islam Indonesia (UII), Masduki menyebut aksi pelarangan atau pembubaran diskusi buku Reset Indonesia oleh aparat mengancam kebebasan berekspresi yang dilindungi oleh Undang-undang dan bertentangan dengan mandat konstitusi.
Ia menegaskan bahwa kegiatan menulis serta mendiskusikan buku adalah hak konstitusional warga negara yang sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Guru besar ilmu komunikasi UII itu pun menilai aksi pembubaran oleh aparat merupakan suatu bentuk perilaku anti sains atau anti pengetahuan.
"Mereka seperti sangat mengkhawatirkan bahwa produksi pengetahuan, distribusi pengetahuan, disseminasi pengetahuan itu menimbulkan bahaya atau pengaruh pada ideologi tertentu," kata Masduki saat dihubungi, Senin sore.
"Adalah hak warga negara untuk membuat, memproduksi buku seperti yang dilakukan Dandhy (Laksono). Kemudian ada hak warga negara untuk juga mendapatkan pengetahuan yang disebarluaskan dari buku itu sebagai suatu forum untuk pencerdasan, sebagai suatu forum untuk pencerahan, yang itu bagian dari kerja-kerja ilmu pengetahuan," sambungnya.
Pembubaran diskusi dan bedah buku macam ini dinilai hanya akan membangkitkan memori zaman Orde Baru. Masduki menyebut pola-pola represif sudah selayaknya ditinggalkan karena bisa menimbulkan kekhawatiran dalam berpendapat hingga melemahkan fungsi kontrol oleh masyarakat.
Diskusi dan bedah buku Reset Indonesia yang digelar di Pasar Pundensari, Desa Gunungsari, Kecamatan Madiun, Madiun, Jawa Timur, dibubarkan aparat pada Sabtu malam (20/12). Panitia menyebut pembubaran dilakukan meski pemberitahuan kegiatan telah disampaikan kepada kepolisian.
Sejumlah peserta yang baru tiba diminta pulang, sementara puluhan peserta lain yang sudah berkumpul diminta membubarkan diri sebelum diskusi dimulai.
Ketua panitia diskusi, Gizzatara mengaku didatangi perwakilan pemerintah kecamatan bersama aparat kepolisian yang meminta kegiatan dibatalkan. Menurut dia, aparat juga menyampaikan larangan terhadap kehadiran salah satu penulis buku, Dandhy Laksono, sebagai narasumber.
"Kami menyayangkan sikap aparat yang dinilai berlebihan, ini murni diskusi dan bedah buku, tanpa agenda politik praktis maupun provokatif," kata Gizzatara, Senin (22/12).
Sementara itu, Kapolsek Nglames AKP Gunawan mengklaim terdapat ketidaksesuaian waktu dalam dokumen pemberitahuan tersebut.
"Ada pemberitahuan tapi berupa PDF, melalui aplikasi pesan singkat, sore itu juga sebenarnya. Tapi tanggalnya juga tidak sesuai," kata Gunawan.
Gunawan mengaku tidak berada di lokasi saat kejadian karena menghadiri kegiatan lain. Ia menyebut telah meminta jajarannya memantau kegiatan agar berjalan aman.
Ia menduga penghentian acara berasal dari pihak pemerintah kecamatan atau desa yang menilai kegiatan belum mengantongi izin. Meski begitu, Gunawan menegaskan polisi bertindak secara persuasif.
"Dari kami yang jelas persuasif. Ada warga berkumpul, bagaimanapun kewajiban kami untuk mengamankan kegiatan," ucapnya.
Gunawan menegaskan kepolisian tetap berkewajiban memberikan pengamanan terhadap kegiatan masyarakat, terlepas dari persoalan izin maupun sekadar pemberitahuan acara.
(kum/wis)
















































