Cerita Penyintas Skizofrenia Katatonik: 'Tubuhku Milik Orang Lain'

6 hours ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

Tak ada yang benar-benar mempersiapkanmu untuk hari di mana tubuh berhenti menjadi milikmu sendiri.

Sekitar tahun 2018, Stephania Shakila Cornelia terbangun seperti biasa. Selang beberapa detik kemudian, ia sadar ada yang janggal.

Lidahnya tak bisa digerakkan, tubuhnya kaku. Ia mencoba berbicara, berteriak, bahkan sekadar memanggil nama sendiri. Namun, tak ada suara yang keluar. Ia hanya bisa terdiam di atas kasur, tak berdaya, seolah dirinya sendiri telah meninggalkannya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selama 40 menit, ia terperangkap dalam keheningan dan ketakutan. Lumpuh total, namun sadar sepenuhnya.

"Aku enggak ngerti rasanya saat itu, cuma tahu tubuhku berhenti. Kaku, enggak bisa ngomong. Enggak bisa gerak, seperti stroke. Tapi ternyata bukan stroke," kata perempuan usia 33 tahun itu mengawali cerita dan pengalamannya sebagai seorang penyintas skizofrenia kepada CNNIndonesia.com, Jumat (23/5).

Saat dirujuk ke Sanatorium Dharmawangsa, dokter yang menanganinya memilih pendekatan menyeluruh.

Thepi, begitu dia kerap disapa, menjalani berbagai pemeriksaan. Rekam otak, diskusi mendalam, sesi pengamatan perilaku hingga akhirnya sebuah vonis dijatuhkan.

"Kamu mengidap skizofrenia katatonik,"kata dokter yang menanganinya kala itu. Thepi menyambutnya dalam diam.

Kata itu asing tapi cukup menakutkan. Tak pernah dibayangkan sebelumnya bahwa 'kelumpuhan' itu bukan gangguan saraf motorik, melainkan sebuah gangguan mental yang menyerang fisik, jenis yang disebut kinetik.

Tangannya tremor hebat, tubuhnya kaku, pikirannya berkabut.

"Tremornya parah banget. Aku bahkan susah nulis, susah makan. Tapi waktu itu aku masih maksa kerja," kenangnya.

Thepi mencoba menjalani hari-harinya senormal mungkin. Dia bahkan memilih tetap masuk kerja.

Sayang, ternyata pilihan itu bukan solusi. Pilihan itu malah jadi bencana yang pelan-pelan menjadi bom waktu yang siap meledak.

Kantor justru menjadi panggung dari episode-episode yang tak bisa dia dikendalikan.

ilustrasi Skizofrenia , ilustrasi cemas , ilustrasi ganguan jiwaIlustrasi. Skizofrenia katatonik mengacu pada perubahan perilaku ekstrem. (Istockphoto/ CasarsaGuru)

Pernah, ia tertawa selama dua jam tanpa henti. Padahal tak ada yang lucu, tak ada hal yang sedang dibicarakan. Hanya tertawa tiba-tiba di tengah orang-orang sibuk bekerja. Mirip kesurupan.

Air matanya sampai mengalir, bukan karena lucu, tapi karena tubuhnya tidak mau berhenti. Ia tak ingin tertawa, tapi tubuhnya punya kehendak sendiri.

"Itu capek banget. Aku ketawa sampai keringat dingin. Kayak terjebak di tubuh sendiri," kata dia.

Di tengah kekacauan itu, ketakutan datang sebagai tamu harian. Paranoia tumbuh tanpa kendali. Thepi sering merasa diawasi, diikuti, diintai.

Ketakutan-ketakutan itu bahkan membuatnya harus berpindah-pindah kosan hingga tujuh kali dalam waktu dua bulan.

"Aku merasa kayak ada CCTV di kamar, kayak ada yang pasang kamera. Sampai enggak bisa tidur. Akhirnya pindah kos. Terus pindah lagi. Dan lagi. Dan lagi," ujarnya.

Minta pertolongan keluarga, tapi malah 'dirukiah'

Lelah dengan semua episode yang dialami, Thepi memilih pulang ke kampung halaman di Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Thepi mencoba mencari ketenangan dari keluarga. Dia mencoba membuka diri tentang apa yang sedang dialami.

Sayangnya, apa yang diharap justru jauh dari kenyataan. Keluarga malah punya vonis lain tentang apa yang sedang dihadapinya.

"Kamu disantet. Kena guna-guna kamu," kata Thepi menirukan ucapan salah satu keluarganya kala itu.

Sebagai keluarga Katolik yang konservatif, pemahaman tentang skizofrenia memang masih awam dan jauh. Mereka lebih mengenal istilah 'guna-guna' daripada 'gangguan neurotransmitter'.

Makanya, alih-alih diberi perawatan medis, Thepi justru dibawa ke seorang rubiah, semacam pengobatan spiritual Katolik. Mereka mengira ada makhluk lain yang merasuki tubuhnya.

"Aku enggak tahu ya, tapi waktu itu aku ngerasa memang di dalam diriku ada orang lain," katanya pelan.

"Mungkin itu bagian dari episodenya. Tapi aku ikuti saja semua yang disuruh keluarga, soalnya aku sendiri bingung bedain mana nyata mana enggak," kata dia.

Tentu saja, tak ada hasil yang bisa dipetik. Nihil. Kondisinya justru semakin memburuk.

Simak cerita Thepi selengkapnya di halaman berikutnya..


Read Entire Article
| | | |