Jakarta, CNN Indonesia --
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan tak pernah menyangkal peristiwa kekerasan atau pemerkosaan selama kerusuhan Mei 1998.
Hal itu disampaikan Fadli dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR, Rabu (2/7). Menurut Fadli, dirinya hanya mempermasalahkan penggunaan kata 'massal' yang menyertai peristiwa tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi jelas kita semua mengutuk hal-hal yang semacam itu, dan mengecam segala kekerasan terhadap perempuan. Saya kira dalam posisi yang sama sekali tidak berbeda dalam hal itu," kata Fadli.
"Nah, cuma secara spesifik tadi, kalau ada sedikit perbedaan pendapat terkait dengan diksi itu, yang menurut saya itu pendapat pribadi, ya mungkin kita bisa dokumentasikan secara lebih teliti lagi ke depan. Ini adalah bagian dari perbedaan data, atau pendapat yang perlu kita lebih akurat lagi ke depan," imbuhnya.
Fadli mengaku tak memiliki maksud lain, atau bahkan kepentingan di balik peristiwa tersebut, apalagi untuk mereduksi atau menghilangkan fakta sejarah. Bahkan, dia mengaku mendorong para pelaku untuk dibawa ke proses hukum.
"Memang pelaku ini, sampai sekarang pun, saya kira harusnya bisa dihukum kalau memang bisa ditelusuri kelompoknya, pelakunya," kata dia.
Namun, masalahnya, hingga saat ini rangkaian kasus kekerasan seksual selama '98 belum menjadi fakta hukum. Fadli menegaskan penulisan ulang sejarah RI tak berupaya untuk menegasikan kekerasan selama '98.
Wakil Ketua Komisi X DPR, MY Esti Wijayanti dalam rapat menilai Fadli tak memiliki kepekaan terhadap persoalan tersebut. Menurut dia, pernyataan Fadli hanya akan semakin melukai para korban.
"Singkat saja, jadi intinya memang peristiwa itu terjadi. Persoalan kemudian ada beberapa catatan yang bapak berikan, mari ...," kata Esti.
Fadli kemudian menyela pernyataan Esti. Dia mengaku tak pernah menyangkal peristiwa tersebut.
Menurut dia, rangkaian kasus pemerkosaan pada Mei '98 terjadi.
"Bukan. Saya mengakui, dalam penjelasan saya, saya mengakui," kata Fadli.
(thr/wis)