Profil PM Israel yang Dibuat Menunggu Bertemu Presiden RI Soeharto

4 hours ago 4

Jakarta, CNN Indonesia --

Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin pernah harus menunggu selama 30 menit, sebelum akhirnya bisa bertemu dengan Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto.

Pertemuan tersebut terjadi pada 22 Oktober 1995 di Hotel Waldorf Towers, New York, Amerika Serikat, saat Presiden Soeharto menghadiri Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai Wakil Ketua Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Tetapi, pertemuan antara Rabin dan Soeharto bukanlah agenda resmi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rabin hanya sangat ingin bertemu dengan Presiden Soeharto sehingga ia mendatangi hotel tempat rombongan Indonesia menginap di lantai 41.

Jadwal semula menunjukkan pertemuan akan dimulai pukul 18.00 waktu setempat. Namun, Rabin telah tiba 15 menit lebih awal.

Lantaran Soeharto masih menerima Presiden Sri Lanka, Rabin pun harus menunggu selama 30 menit lagi.

Profil Yitzhak Rabin

Yitzhak Rabin lahir di Yerusalem pada 1 Maret 1922, saat wilayah tersebut masih berada di bawah mandat Inggris.

Ayahnya, Nehemiah, adalah imigran dari Amerika Serikat dan pernah bertugas dalam Legiun Yahudi pada Perang Dunia I.

Ibunya, Rosa, merupakan salah satu anggota pertama organisasi pertahanan Yahudi, Haganah.

Rabin menamatkan pendidikannya dengan prestasi tinggi sebelum bergabung dengan Palmach, unit komando komunitas Yahudi, dan mengabdi selama 27 tahun di militer hingga menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Pertahanan Israel (IDF).

Setelah pensiun dari militer pada 1 Januari 1968, Rabin ditunjuk sebagai Duta Besar Israel untuk Amerika Serikat dan mempererat hubungan bilateral kedua negara.

Sekembalinya ke Israel pada 1973, ia aktif di Partai Buruh dan terpilih menjadi anggota parlemen (Knesset).

Pada 2 Juni 1974, Rabin menjadi Perdana Menteri Israel, menggantikan Golda Meir.

Dalam masa jabatannya, Rabin fokus pada perbaikan ekonomi, masalah sosial, dan penguatan militer Israel. Ia menandatangani kesepakatan interim dengan Mesir pada 1975 dengan mediasi Amerika Serikat.

Rabin juga memerintahkan operasi militer terkenal, Operasi Entebbe, pada Juni 1976. Namun, pada akhir tahun yang sama, pemerintahannya mengalami krisis akibat pelanggaran aturan Sabat di pangkalan udara Israel, sehingga ia membubarkan kabinet dan mengadakan pemilu baru.

Setelah Partai Buruh kalah dalam pemilu 1977, Rabin tetap aktif sebagai anggota parlemen. Ia mengundurkan diri dari kepemimpinan partai setelah terungkap memiliki rekening dolar di AS yang masih aktif saat menjabat sebagai duta besar, yang melanggar hukum Israel.

Rabin kembali menjadi Menteri Pertahanan dalam Pemerintahan Persatuan Nasional antara 1984 hingga 1990. Ia kembali menjabat sebagai Perdana Menteri pada Juni 1992 setelah terpilih sebagai Ketua Partai Buruh.

Pada 13 September 1993, Rabin menandatangani Declaration of Principles dengan Ketua PLO Yasser Arafat di Washington D.C., sebagai kerangka pemerintahan sendiri Palestina.

Kesepakatan lanjutan ditandatangani di Kairo pada 4 Mei 1994.

Atas kemajuan dalam proses perdamaian, Rabin menerima Nobel Perdamaian tahun 1994 bersama Menteri Luar Negeri Israel Shimon Peres dan Yasser Arafat. Ia juga menandatangani perjanjian damai dengan Raja Hussein dari Yordania pada 26 Oktober 1994.

Namun, pada 4 November 1995, Rabin tewas ditembak oleh Yigal Amir saat menghadiri aksi damai di Tel Aviv.

Amir mengklaim pembunuhan itu sesuai hukum agama Yahudi karena Rabin dianggap mengkhianati rakyat Yahudi melalui proses perdamaian dengan Palestina.

Rabin dimakamkan di Gunung Herzl, Yerusalem, dalam sebuah pemakaman kenegaraan yang dihadiri para pemimpin dunia seperti Presiden AS Bill Clinton, Ibu Negara Hillary Clinton, Presiden Mesir Hosni Mubarak, dan Raja Hussein dari Yordania.

(zdm/dna)

Read Entire Article
| | | |