Review Film: How to Train Your Dragon (2025)

17 hours ago 4

Tanpa ada niat mendiskreditkan medium animasi, remake ini mampu menerjemahkan makna harfiah live-action, yakni menghadirkan versi animasinya menjadi nyata.

Jakarta, CNN Indonesia --

Remake live-action dari film animasi sering dianggap gagal karena seolah hanya mengeruk cuan tanpa memikirkan aspek kreatif. Namun, kecenderungan ini rasanya tak berlaku untuk How to Train Your Dragon (2025) yang sukses mengulang keajaiban karya aslinya.

Versi live-action itu ternyata mampu kembali menghadirkan sisi magis dari petualangan si pemuda Viking bernama Hiccup dan Toothless sang naga Night Fury di How to Train Your Dragon (2010).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Capaian ini semakin mengejutkan karena How to Train Your Dragon menandai debut DreamWorks mengerjakan remake live-action dari katalog animasi mereka.

Keputusan terjun ke dunia remake live-action awalnya cukup membuat banyak orang skeptis, termasuk saya. Jika dicermati, tren mendaur ulang animasi ke live-action belakangan lebih banyak memicu cibiran alih-alih pujian.

Situasi itu pula yang membuat sebagian besar orang menilai film live-action dari animasi tidak perlu-perlu amat, apalagi untuk How to Train Your Dragon yang begitu ikonis hingga mencetak skor kritikus 99 persen di Rotten Tomatoes.

Rasa sangsi ternyata langsung sirna setelah melihat langsung petualangan Hiccup bersama Toothless dalam wujud live-action. Tanpa ada niat mendiskreditkan medium animasi, remake ini mampu menerjemahkan makna harfiah live-action, yakni menghadirkan versi animasinya menjadi nyata.

Film live-action How to Train Your Dragon (2025). (Universal Pictures & DreamWorks Animation LLC)Review How to Train Your Dragon (2025): ada beberapa aspek yang mendukung live-action How to Train Your Dragon menjadi tontonan yang megah. (Universal Pictures & DreamWorks Animation LLC)

Bagi saya, ada beberapa aspek yang mendukung live-action How to Train Your Dragon menjadi tontonan yang megah. Remake ini menerapkan prinsip utama dalam mendaur ulang suatu karya ikonis: do it by the book.

Di tengah remake yang mencoba mengeksplorasi sumber asli dengan perubahan cerita, casting, hingga menghadirkan twist baru, live-action ini memilih setia dengan sumbernya.

Sejumlah adegan penting dalam How to Train Your Dragon (2025) bahkan menerapkan format shot-for-shot adaptation atau dibuat secara identik, nyaris sama persis dengan aslinya.

Keputusan ini boleh saja dicap terlalu main aman, membosankan, atau hanya akan berlalu seperti perasaan déjà vu. Namun, bagi saya, mengotak-atik cerita seapik How to Train Your Dragon sama seperti memasang perangkap untuk diri sendiri.

Kesetiaan mengikuti 'resep' aslinya diikuti pula dengan kehadiran sang juru masak. Dean DeBlois, sutradara dan penulis HTTYD versi animasi, kembali memikul tanggung jawab yang sama untuk versi live-action.

Poin plus lain diperoleh ketika studio mau memberi kontrol kreatif penuh bagi DeBlois. sang sutradara lantas mendapat ruang untuk mengembangkan HTTYD dari 98 menit di versi animasi menjadi 125 menit untuk live-action.

Perpanjangan durasi itu dimanfaatkan dengan baik walau tidak benar-benar berdampak bagi cerita. Jika diibaratkan, 27 menit tambahan itu bagai hiasan tambahan yang mempercantik suguhan utama How to Train Your Dragon.

Film live-action How to Train Your Dragon (2025). (Universal Pictures & DreamWorks Animation LLC)Review How to Train Your Dragon (2025):  Materi cerita yang berkualitas dan sudah teruji di versi animasi itu selanjutnya dikawinkan dengan pengerjaan visual kelas wahid serta penampilan apik para pemeran. (Universal Pictures & DreamWorks Animation LLC)

Materi cerita yang berkualitas dan sudah teruji di versi animasi itu selanjutnya dikawinkan dengan pengerjaan visual kelas wahid serta penampilan apik para pemeran.

Dean DeBlois kemudian menggandeng Bill Pope untuk mengisi kursi sinematografer. DeBlois sejatinya meminta Roger Deakins yang menjadi konsultan visual animasi HTTYD untuk kembali terlibat, tetapi sinematografer itu menolak dan menyarankan Bill Pope sebagai nama yang cocok.

DeBlois mengambil keputusan brilian ketika mendengar saran rekan lamannya. Bill Pope, dengan jejak menterengnya sebagai pengarah visual, mampu mengangkat How to Train Your Dragon ke level yang lebih tinggi.

Ia menyuguhkan Pulau Berk menjadi amat indah dengan detail yang ciamik, mulai dari kostum bangsa Viking dan arsitektur desanya hingga tekstur naga-naga yang terlihat nyata.

Pope semakin memamerkan keahliannya saat film mulai menyajikan adegan Hiccup terbang dengan Toothless. Ia paham betul bahwa How to Train Your Dragon pantas menjadi blockbuster musim panas yang memuaskan, sehingga setiap adegan aksi tersaji dengan sentuhan magis.

[Gambas:Video CNN]

Kemegahan itu semakin terasa karena kehadiran John Powell, komposer yang dulu juga terlibat di How to Train Your Dragon (2010). Tak jauh berbeda dengan DeBlois, Powell hanya tinggal membawa resep scoring dari medium animasi ke live-action untuk mengulang kesuksesannya.

Meski begitu, patut dicatat pula bahwa ada efek CGI yang masih terlalu kasar, seperti saat Hiccup (Mason Thames) dan Astrid (Nico Parker) berbincang di atas Toothless yang sedang terbang.

Kerja hebat orang-orang di balik layar itu dibalas dengan apik oleh para pemeran How to Train Your Dragon versi live-action. Mason Thames, sang pemeran Hiccup, tampil gemilang sebagai jantung cerita yang terus berdetak sampai akhir perjalanan.

Penampilan Mason Thames juga diimbangi para pemeran karakter muda lainnya, termasuk Nico Parker yang menjadi Astrid Hofferson. Gerard Butler yang kembali menjadi Stoick the Vast ternyata mampu menghidupkan karakter kepala suku tersebut di dua medium berbeda.

Namun, di antara para pemeran itu, perhatian saya justru tertuju kepada Nick Frost sebagai Gobber the Belch. Ia benar-benar menjadi aktor serba bisa karena mampu menghadirkan beraneka peran Gobber di cerita, dari menjadi pandai besi Berk, sahabat Stoick, hingga mentor Hiccup.

Ulasan panjang itu pada akhirnya berujung kepada satu pertanyaan pemungkas: Apakah How to Train Your Dragon tetap layak ditonton meski tak jauh berbeda dari versi animasi?

Pada dasarnya tidak masalah jika live-action ini dilewatkan, apalagi bagi penonton yang enggan merusak memori indah terhadap How to Train Your Dragon versi animasi.

Namun, bagi mereka yang mau merasakan kembali petualangan Hiccup dan Toothless dalam format lain yang tetap megah serta disajikan dengan visual imersif, live-action How to Train Your Dragon jelas sanggup memenuhi keinginan itu.

[Gambas:Youtube]

(end)

Read Entire Article
| | | |