Survei LSI: Publik Desak RUU KUHAP Atur Batas Waktu Penyelidikan

4 hours ago 1

Jakarta, CNN Indonesia --

Hasil jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengungkap mayoritas responden mendorong agar batas waktu penyelidikan diatur secara tegas dalam Revisi Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), Kamis (26/6).

Peneliti LSI, Yoes C Kenawas, menyebut sebanyak 55,7 persen responden menilai waktu penyelidikan seharusnya dibatasi maksimal kurang dari tiga bulan. Batasan itu untuk memberi kepastian hukum dalam proses penyelidikan.

"Sebanyak 55,7 persen responden merasa bahwa maksimal kurang dari tiga bulan waktu penyelidikan sebuah dugaan kasus pidana dilakukan," ujar Yoes dalam paparan surveinya di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (26/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Survei LSI digelar selama kurun waktu mulai 20 Mei-12 Juni 2025 terhadap 101 responden yang berasal dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, praktisi hukum, aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, PPNS), hingga organisasi masyarakat sipil. Metode pengambilan sampel dilakukan secara purposif.

Sulit akses informasi perkembangan kasus pidana

Yoes menambahkan, hasil survei juga menunjukkan 77,2 persen responden mengeluhkan sulitnya mengakses informasi perkembangan kasus pidana.

Dalam survei itu, publik juga mengungkap harapan mendesak agar RKUHAP mengatur keterbukaan informasi perkembangan setiap perkara kriminal dari awal hingga akhir dalam bentuk digital.

"Dengan itu informasi perkembangan perkara dapat diakses oleh masyarakat luas, selama informasi tersebut sesuai dengan UU Keterbukaan Informasi Publik dan UU Perlindungan Data Pribadi," kata Yoes.

Perlindungan HAM dan pengawasan eksternal

Sebanyak 99 persen responden menekankan pentingnya pemberitahuan resmi dalam proses penangkapan sebagai bentuk perlindungan hak asasi warga negara.

Selain itu, publik juga menuntut mekanisme pengawasan eksternal terhadap lembaga penegak hukum serta sarana pengaduan jika terjadi penyalahgunaan wewenang.

Isu lain yang turut disorot adalah kesetaraan penyidik. Responden menilai perlu ada pengakuan atas penyidik non-Polri, seperti dari Kejaksaan, yang dinilai memiliki kompetensi dan tidak perlu berada di bawah koordinasi Polri.

Dalam kesempatan yang sama, Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, mengingatkan agar kewenangan penyidikan tidak dimonopoli Polri. Menurutnya, hal ini dapat menghambat penegakan hukum terutama di sektor-sektor yang membutuhkan keahlian teknis khusus.

"Kan repot untuk menjelaskan sesuatu yang bukan pada bidangnya, padahal ada orang yang sudah atau negara sudah rekrut untuk keahlian-keahlian tertentu, latar belakang pendidikan khusus tertentu," katanya.

"Kesetaraan kan ada keseimbangan tidak ada yang mendominasi karena sudah ada pada fungsi dan kedudukannya masing-masing dan kadang ada undang-undangnya masing-masing," imbuh Azmi.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengungkap pihaknya telah resmi menerima daftar inventaris masalah (DIM) revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) untuk segera dibahas bersama pemerintah.

Dasco memastikan RKUHAP akan segera dibahas pada masa sidang kali ini di Komisi III DPR sebagai mitra pemerintah bidang hukum dan keamanan.

"DIM-nya sudah kita terima. Ya, [dibahas] di Komisi III, rencananya begitu. Nanti akan kita umumkan di paripurna terdekat," kata Dasco di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (26/6).

(thr/kid)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
| | | |