Jakarta, CNN Indonesia --
Pelaksana Harian (Plh) Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tri Winarno, buka suara terkait penurunan nilai ekspor batu bara Indonesia sebesar 19,74 persen pada periode Januari-April 2025, dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
"Coba dicek, China sama India dua negara itu produksi (batu bara)-nya naik. Jadi poinnya, semua negara sekarang mempertahankan, pinginnya untuk ketahanan. Semua negara pingin untuk negaranya secure. Jadi wajar-wajarnya di dunia global ya seperti ini," ujar Tri saat ditemui di Lapangan Banyu Urip, Bojonegoro, Jawa Timur, Kamis (26/6).
Tri menyebut penurunan ekspor tidak perlu direspons secara berlebihan, namun tetap perlu diantisipasi. Salah satu yang sedang dipertimbangkan adalah potensi pasar baru di kawasan ASEAN.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita enggak usah terlalu panik, enggak usah ini. Tetapi memang harus diantisipasi. Misalnya, apakah ada potensi untuk ASEAN? Seperti itu, ya," lanjutnya.
Tri juga menyampaikan penurunan ekspor batu bara Indonesia ke China dan India tidak secara otomatis berarti kedua negara tersebut beralih membeli dari negara lain seperti Rusia atau Mongolia.
Menurutnya, meski ada ekspor batu bara dari negara-negara tersebut, dominasi pasokan dari Indonesia belum tergantikan.
Ia mencontohkan kondisi di Mongolia, yang menurutnya secara geografis menghadapi tantangan logistik karena jarak pengangkutan yang jauh dapat memengaruhi efisiensi harga jual.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor batu bara Indonesia pada Januari-April 2025 sebesar US$8,17 miliar, turun dari US$10,18 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Penurunan ini terjadi karena dua faktor utama, turunnya volume ekspor sebesar 5,79 persen menjadi 122,76 juta ton, serta turunnya harga rata-rata sebesar 14,92 persen menjadi US$66,53 per ton.
Ekspor batu bara dari Indonesia memiliki peran besar dalam perekonomian. Pada 2023, China dan India menyumbang 63 persen dari total ekspor batu bara Indonesia.
Namun, menurut laporan terbaru Energy Shift Institute (ESI) berjudul Coal in Indonesia: Paradox of Strength and Uncertainty, tren tersebut diprediksi tidak akan bertahan lama.
Laporan tersebut menyebut Presiden China Xi Jinping telah memberikan sinyal baru terkait transisi energi dan target iklim pada 2035. Di saat yang sama, permintaan listrik baru di China dan India kini semakin banyak dipenuhi dari sumber energi bersih, bukan batu bara.
"Lebih dari tiga perempat pertumbuhan permintaan listrik Tiongkok dipenuhi oleh energi bersih. Ini menunjukkan arah yang tidak bisa lagi diabaikan oleh Indonesia dan harus segera direspons dengan strategis," kata peneliti ESI, Hazel Ilango.
Hazel menambahkan jika tren ini berlanjut, ekspor batu bara Indonesia berpotensi stagnan atau bahkan menurun secara permanen dalam beberapa tahun mendatang.
Meski demikian, sektor pertambangan dan jasa batu bara di Indonesia masih mencatatkan keuntungan signifikan dalam lima tahun terakhir, dengan laba bersih mencapai US$31,4 miliar atau Rp508,55 triliun (asumsi kurs Rp16.193 per dolar AS) selama 2019-2023.
Produksi batu bara nasional pun mencetak rekor 836 juta ton pada 2024, naik 7,9 persen dari tahun sebelumnya.
Namun, ESI memperingatkan lonjakan keuntungan tersebut bersifat sementara dan fluktuatif, sebagaimana karakteristik industri komoditas. Harga batu bara global kini telah turun lebih dari separuh sejak 2022, meski masih berada di atas tingkat sebelum pandemi.
(del/dna)