Jakarta, CNN Indonesia --
Pemerintah mengumumkan 212 merek beras medium dan premium diduga oplosan. Merek-merek itu setidaknya tersebar di 10 provinsi.
Temuan bermula dari penindakan kepolisian terhadap gudang di Kecamatan Cikeusal, Kabupaten Serang, Banten. Polisi menemukan modus beras Bulog yang telah diputihkan dibungkus dengan merek Ramos dan Bantuan Pangan dari Badan Pangan Nasional (Bapanas).
Beras hasil oplosan itu dipasarkan di Bogor, Tangerang, Serang dan Kota Cilegon. Mereka sudah beroperasi sejak 2019. Para pelaku mengantongi keuntungan Rp732 juta hanya untuk periode Desember 2023 hingga Maret 2024.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kementerian Pertanian (Kementan) juga melakukan uji kualitas terhadap 268 sampel beras dari 212 merek. Pengujian dilakukan pada 6 hingga 23 Juni 2025.
Hasilnya, 85,56 persen beras premium yang diuji tidak sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan.
Kemudian, 59,78 persen beras premium tersebut juga tercatat melebihi harga eceran tertinggi (HET). Sekitar 21,66 persen memiliki berat riil yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tertera pada kemasan.
Kementan juga menemukan 88,24 persen beras medium tidak memenuhi standar mutu SNI. Sekitar 95,12 persen beras medium ditemukan dijual dengan harga yang melebihi HET.
Kementan mencatat 9,38 persen memiliki selisih berat yang lebih rendah dari informasi yang tercantum pada kemasan.
Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai masalah bersumber dari ketimpangan harga pembelian pemerintah (HPP) terhadap gabah kering panen (GKP) dengan harga eceran tertinggi (HET) beras.
Pemerintah menaikkan HPP GKP 47 persen sejak urusan beras ditangani Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada 2023. Sementara itu, HET beras medium hanya naik 30 persen dan HET beras premium hanya naik 10 persen.
"Ketika HPP GKP naik menjadi Rp6.500 per kg, HET-nya tidak disesuaikan, tidak ada kenaikan. Padahal, kita semua tahu gabah kering panen itu bahan baku beras. Kalau bahan bakunya naik, berasnya mestinya naik," kata Khudori saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (14/7).
Hal ini, menurutnya, membuat sebagian penggilingan padi tutup. Hal ini pula yang diduga mendorong sejumlah produsen beras mengakali produksi dengan mengoplos.
Khudori berpendapat kejahatan ini timbul karena sistem yang tidak tepat. Dia menyarankan pemerintah membenahi aturan soal HPP GKP dan HET beras.
"Ini bisa disebut jadi sebuah kejahatan berjemaah. Penting buat pemerintah untuk itu introspeksi diri. Seperti ada hal-hal yang salah, itu yang harus diperiksa oleh pemerintah," ujarnya.
Pengawasan Lemah
Pengamat Pertanian Center of Reform on Economics (Core) Eliza Mardian menyoroti pengawasan lemah. Pemerintah dinilai tidak memantau distribusi beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) secara ketat.
Padahal, ada potensi kebocoran karena rantai distribusi yang cukup panjang. Dalam hal ini, beras SPHP disalurkan dari gudang Bulog ke agen distributor, baru disalurkan ke agen retail.
"Jadi banyak kebocorannya di situ, 80 persen bocor dan hanya 20 persen yang sampai ke penerima manfaat yang sesuai dengan kriteria," ujar Eliza.
"Ditambah lagi pengawasannya lemah. Itu kan ada beberapa perusahaan besar yang diduga mengoplos," ucapnya.
Eliza mengatakan urusan pengawasan seharusnya tidak hanya ditangani oleh Kementan. Dia berkata distribusi beras juga menjadi tanggung jawab Kementerian Perdagangan.
Menurutnya, persoalan beras oplosan ini harus ditangani satuan tugas (satgas) baru yang khusus mengatasi mafia beras. Dia menyebut perlu tim baru yang lebih detail dibandingkan satgas pangan.
Eliza mengatakan Kementerian Koordinator Bidang Pangan harus mengambil peran memimpin pemberantasan ini.
"Pemerintah harus ketat sih dari standardisasinya, dicek secara berkala ke pasar-pasar, aktif melakukan survei, verifikasi, diuji berasnya," ucap Eliza.
Sementara itu, pengamat pertanian IPB Edi Santosa menyoroti terlalu bebasnya perdagangan beras di Indonesia. Dia berkata siapa pun bisa langsung membeli ke penggilingan.
Padahal, di negara lain distribusi beras diatur secara ketat. Pembeli biasa hanya bisa mendapatkan beras di distributor. Tidak sembarang orang bisa membeli beras langsung dari penggilingan.
Dia menyarankan pemerintah membuat peraturan pemerintah (pp) atau setingkatnya untuk mengatur ketertiban distribusi beras. Edi menyarankan sistem pelacakan daring atau traceability untuk memastikan mutu beras.
"Di kita belum terlalu aware, misalnya, beras yang saya makan ini siapa yang menghasilkan. Di negara lain itu pakai handphone bisa tahu siapa yang menghasilkan, siapa yang menjualnya, melalui siapa," kata Edi.
"Traceability ini indikator negara maju dan sebenarnya tidak perlu anggaran besar. Pemerintah buat aturan saja agar produsen membangun sistemnya," ucapnya.
(sfr)